Rabu, 29 Oktober 2008

makalah kebijakan pendidikan orde lama

PEMBAHASAN

A. Pendidikan pada Masa Orde Lama

Sejak Indonesia merdeka dan membentuk NKRI, sistem pendidikan mulai diatur oleh negara sejak kemerdekaan tahun 1945. orde lama memfokuskan pendidikan sebagai upaya dalam pembentukan karakter bangsa. Inilah orde dimana semua orang merasa sejajar, tanpa dibedakan warna kulit, keturunan, agama dan sebagainya. Begitu juga dalam dunia pendidikan, orde lama berusaha membangun masayarakat sipil yang kuat, yang berdiri di atas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara, termasuk dalam bidang pendidikan. Inilah amanat UUD 1945 yang menyebutkan salah satu cita-cita pembangunan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.

Atas usul badan pekerja KNIP, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mr. Soewandi) membuat surat keputusan Nomor 104/Bhg o tertanggal 1 Maret 1946, untuk membentuk panitia penyelidik pengajaran dibawah pimpinan Ki Hadjar Dewantara dan Soegarda Poerbaka Watji sebagai penulis. Tugas yang diberikan kepada panitia ini antara lain :

1. Merencanakan susunan baru dari tiap-tiap macam sekolah

2. Menetapkan bahan pengajaran dengan mempertimbangkan keperluan yang praktis dan jangan terlalu berat

3. Menyiapkan rencana pelajaran untuk tiap jenis sekolah termasuk fakultas

Salah satu hasil dari panitia tersebut adalah mengenai perumusan tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan nasional pada masa tersebut penekanannya adalah pada penanaman semangat patriotisme dan peningkatan kesadaran nasional, sehingga dengan semangat itu kemerdekaan dapat dipertahankan dan diisi. Kementrian pendidikan, pengajaran dan kebudayaan Rapublik Indonesia dalam tahun 1946 mengeluarkan suatu pedoman bagi guru-guru yang memuat sifat-sifat kemanusiaan dan kewarganeraan sebagai dasar pengajaran dan pendidikan di negara Republik Indonesia yang pada dasarnya berintisarikan Pancasila.

Pada bulan Desember 1949 Republik Indonesia mengalami perubahan ketata negaraan dan Undang-Undang Dasar 1945 diganti dengan konstitusi sementara Rapublik Indonesia Serikat (RIS). Pada tanggal 5 April 1950 mengenai dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 Bab II Pasal 3 disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah membentuk manusia yang asusila dengan cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Ini berarti bahwa setiap sistem persekolahan pada waktu itu harus dapat menanamkan dan mengembangkan sifat-sifat demokratis pada anak didiknya misalnya : di dalam kampus muncul kebebasan akademis yang luar biasa ditandai dengan fragmentasi politik yang begitu hebat di kalangan mahasiswa-mahasiswa bebas berorganisasi sesuai dengan pilihannya.[1]

Sistem persekolahan pada masa orde lama hanya mengenal 3 tingkat :

1. Pendidikan rendah, yang terdiri dari taman kanak-kanak (1 tahun) dan sekolah dasar (6 tahun)

2. Pendidikan menengah yang terdiri dari sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) dan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) dengan masa belajar untuk masing-masing terdiri atas sekolah umum dan sekolah kejuruan.

3. Pendidikan tinggi selama kurun waktu 1945-1950 berkembang pesat dan terbuka lebar bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat, tetapi karena masa perjuangan maka perkuliahan kerap kali disela dengan perjuangan ke garis depan. Pendidikan tinggi yang ada berbentuk universitas atau perguruan tinggi dan akademi.

Para pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serba terbatas. Dengan segala keterbatasan itu memupuk pemimpin-pemimpin nasional yang dapat mengatasi masa panca roba seperti rongrongan terhadap NKRI.

Kebijakan yang diambil orde lama dalam bidang pendidikan tinggi yaitu mendirikan universitas di setiap provinsi. Kebijakan ini bertujuan untuk lebih memberikan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Pada waktu itu pendidikan tinggi yang bermutu terdapat di pulau Jawa seperti UI, IPB, ITB, Gajah Mada, dan UNAIR, sedangkan di provinsi-provinsi karena kurangnya persiapan dosen dan keterbatasan sarana dan prasarana mengakibatkan kemerosotan mutu pendidikan tinggi mulai terjadi.

Orde lama Presiden Soekarno mencanangkan program pendidikan pemberantasan buta huruf, karena selama dijajah Belanda, rakyat tidak bisa menikmati pendidikan sehingga mayoritas buta huruf.[2]

Kebijakan-kebijakan pada periode/kurun waktu tersebut di atas.

1. Periode/kurun waktu 1945-1950

Usaha untuk memperbaiki tingkat dan mutu pendidikan di Indonesia, maka kaitannya adalah berhubungan dengan :

a. Peningkatan fasilitas fisik (sarana dan prasarana pendidikan)

Pemerintah mendirikan gedung-gedung sekolah baru, menyewa rumah-rumah rakyat dan mengadakan sistem penggunaan gedung sekolah 2 sampai 3 kali sehari yaitu pagi, siang dan malam hari.

b. Peningkatan dan penambahan fasilitas personal sekolah (guru dan tenaga tata usaha)

c. Kurikulum

Setelah UU Pendidikan dan Pengajaran Nomor 4 Tahun 1950 dikeluarkan, maka:

§ Kurikulum pendidikan rendah ditujukan untuk menyiapkan anak agar memiliki dasar-dasar pengetahuan, kecakapan dan ketangkasan baik lahir maupun batin serta mengembangkan bakat dan kesukaannya.

§ Kurikulum pendidikan menengah ditujukan untuk menyiapkan pelajar ke pendidikan tinggi, serta mendidik tenaga-tenaga ahli dalam berbagai lapangan khusus, sesuai dengan bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat.

§ Kurikulum pendidikan tinggi ditujukan untuk menyiapkan mahasiswa agar dapat menjadi pimpinan dalam masyarakat dan dapat memelihara kemajuan ilmu dan kemajuan hidup kemasyarakatan.

d. Pembiayaan

Besarnya pembiayaan pendidikan yang dikeluarkan pemerintah pada kurun waktu ini sulit diperoleh angka-angkanya secara pasti, karena sebagaimana kita ketahui bahwa waktu itu kita berada dalam perjuangan fisik untuk mempertahankan kemerdekaan.[3]

Mahasiswa dan Pelajar Pejuang

Selama perjuangan fisik untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia seluruh lapisan masyarakat telah terlibat, khususnya para pelajar dan mahasiswa yang telah mengalami latihan kemiliteran pada zaman Jepang.

Kurikulum pertama pada masa kemerdekaan namanya “Rencana Pelajaran 1947”, ketika itu penyebutanya lebih populer menggunakan leer plan (rencana pelajaran). Rencana pelajaran 1947 bersifat politis, yang tidak mau lagi melihat dunia pendidikan masih menerapkan kurikulum Belanda. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Susunan rencana pelajaran 1947 sangat sederhana, hanya memuat dua hal pokok, yaitu daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, serta garis-garis besar pengajarannya.[4]

Rencana pelajaran lebih mengutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat daripada pendidikan pikiran. Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari. Mata pelajaran untuk tingkat sekolah rakyat ada 16, khusus di Jawa, Sunda, dan Madura diberikan bahasa daerah. Daftar pelajarannya adalah bahasa Indonesia, bahasa daerah, berhitung, ilmu alam, ilmu hayat, ilmu bumi, sejarah, menggambar, menulis, seni suara, pekerjaan tangan, pekerjaan keputrian, gerak badan, kebersihan dan kesehatan, didikan budi pekerja dan pendidikan agama. Garis-garis besar pengajaran pada saat itu menekankan pada cara guru mengajar dan cara murid mempelajari.

2. Periode/kurun waktu 1950-1959

a. Sistem persekolahan

Sejak Agustus 1950 penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran menggunakan Undang-Undang pokok pendidikan dan pengajaran Nomor 4 Tahun 1950 Republik Indonesia. Susunan sekolah tersebut adalah sekolah rakyat 6 tahun, sekolah lanjutan tingkat pertama 3 tahun, dan sekolah lanjutan tingkat atas 3 tahun. Pada tahun 1954 didirikan lembaga pendidikan guru bertingkat universitas yang pertama yaitu Pendidikan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) di Bandung.

b. Kesempatan belajar

Undang-Undang pendidikan tahun 1950 dan 1959 Pasal 17 menyatakan bahwa : “Tiap-tiap warga negara Republik Indonesia mempunyai hak yang sama diterima menjadi murid suatu sekolah, jika memenuhi syarat yang ditetapkan unit pendidikan dan pengajaran pada sekolah itu”.

Di samping itu, pasal 21 ayat 1 menyatakan pula bahwa : “Pemerintah dan bangsa Indonesia menerima ko-edukasi pendidikan untuk laki-laki dan perempuan bersama-sama”.

Dari Undang-Undang tersebut di atas dapatlah diketahui bahwa :

1) Pemerintah memberikan kesempatan belajar bagi setiap golongan masyarakat, seperti anak petani, pedagang, pegawai negeri, pengusaha, anggota ABRI untuk mendapatkan pendidikan mulai dari TK sampai dengan perguruan tinggi.

2) Pemerintah memberikan kesempatan belajar bagi setiap golongan masyarakat untuk mencapai tingkat yang tertinggi, asalkan memenuhi syarat.

3) Pemerintah memberikan kesempatan belajar bagi setiap golongan masyarakat tanpa membedakan apakah anak laki-laki atau perempuan.

Pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama “Rencana Pelajaran Terurai 1952”. Kurikulum ini mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Pada masa itu juga dibentuk kelas masyarakat, yaitu sekolah khusus bagi lulusan SR 6 tahun yang tidak melanjutkan ke SMP, kelas masyarakat mengajarkan keterampilan seperti pertanian, pertukangan dan perikanan. Tujuannya agar anak tak mampu sekolah ke jenjang SMP bisa langsung bekerja.

3. Periode/kurun waktu 1959-1966

Tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam keputusan presiden nomor 145 Tahun 1965 adalah sebagai berikut :

Tujuan pendidikan nasional baik yang diselenggarakan oleh pihak pemerintah maupun oleh pihak swasta, dari pendidikan pra sekolah sampai pendidikan tinggi supaya melahirkan warga negara sosialis Indonesia yang asusila, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia adil dan makmur spiritual maupun material dan yang berjiwa Pancasila.

Kebijakan pendidikan pada waktu itu yaitu, “sapta usaha tama dan panca wardhana” tertuang dalam instruksi Menteri PP&K Nomor 1 Tahun 1959.

Sapta Usaha Tama berisi :

a. Penertiban aparatur dan usaha-usaha kementrian PP&K

b. Menggiatkan kesenian dan olahraga

c. Mengharuskan “usaha halaman”

d. Mengharuskan penabungan

e. Mewajibkan usaha-usaha koperasi

f. Mengadakan “kelas masyarakat”

g. Membentuk “regu kerja” di kalangan SLA dan Universitas

Sementara Panca Wardhana berisikan segi-segi sebagai berikut :

a. Perkembangan cinta bangsa dan tanah air, moral nasional, internal dan keagamaan (moral)

b. Perkembangan intelegensi (kecerdasan)

c. Perkembangan emosional-artistik atau rasa keharuana dan keindahan lahir batin

d. Perkembangan keprigelan (kerajinan) tangan

e. Perkembangan jasmani

Konsep pembelajaran pada tahun 1964 mewajibkan sekolah membimbing anak agar mampu memikirkan sendiri pemecahan persoalan (problem solving). Rencana pendidikan 1964 melahirkan kurikulum 1964 yang menitik beratkan pada pengembangan daya cipta, rasa, karya dan moral yang kemudian dikenal dengan istilah panca wardhana.

Pada saat itu pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis, yang disesuaikan dengan perkembangan anak. Cara belajar dijalankan dengan metode yang disebut gotong royong terpimpin. Selain itu pemerintah menerapkan hari Sabtu sebagai hari krida, maksudnya, pada hari Sabtu siswa diberi kebebasan berlatih kegiatan di bidang kebudayaan, kesenian, olahraga, dan permainan sesuai minat siswa. Kurikulum 1964 adalah alat untuk membentuk manusia Pancasilais yang sosialis Indonesia, dengan sifat-sifat seperti pada ketetapan MPKS No. 11 Tahun 1960.

Penyelenggaraan pendidikan dengan kurikulum 1964 mengubah penilaian di rapor bagi kelas I dan II yang asalnya berupa skor 10-100 menjadi huruf A, B, C, dan D. Sedangkan bagi kelas III hingga VI tetap menggunakan skor 10-100.


DAFTAR PUSTAKA

Anam, S., Sekolah Dasar, Pergulatan Mengejar Ketertinggalan, Solo : Wajatri

Drs. Ary H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1995

Soenarto, N., Biaya Pendidikan di Indonesia : Perbandingan pada Zaman Kolonial Belanda dan NKRI (on line) http://www.kompas.com

Sanjaya, W. Kajian Kurikulum dan Pembelajaran, Bandung : Sekolah Pasca Sarjana UPI, 2007



[1] Drs. Ary H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1995, hal. 36

[2] Anam, S., Sekolah Dasar, Pergulatan Mengejar Ketertinggalan, Solo : Wajatri, hal. 113-148

[3] Soenarto, N., Biaya Pendidikan di Indonesia : Perbandingan pada Zaman Kolonial Belanda dan NKRI (on line) http://www.kompas.com

[4] Sanjaya, W. Kajian Kurikulum dan Pembelajaran, Bandung : Sekolah Pasca Sarjana UPI, 2007

Tidak ada komentar: